NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL PENARI KECIL KARYA SARI SAFITRI MOHAN: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL PENARI KECIL KARYA SARI SAFITRI MOHAN: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA


A.      LATAR BELAKANG MASALAH
Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran hidup. Orang dapat mengetahui nilai-nilai hidup, susunan adat istiadat, suatu keyakinan, dan pandangan hidup orang lain atau masyarakat melalui karya sastra. Dengan hadirnya karya sastra yang membicarakan persoalan manusia, antara karya sastra dengan manusia memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Sastra dengan segala ekspresinya merupakan pencerminan dari kehidupan manusia. Permasalahan dalam kehidupan manusia, merupakan ilham bagi pengarang untuk mengungkapkan dirinya dengan media karya sastra. Kalimat di atas dapat disimpulkan bahwa, tanpa unsur adanya kehadiran manusia, sastra mungkin tidak akan tercipta. Pada dasarnya sastra tidak terlepas dari manusia, baik manusia sebagai sastrawan maupun sebagai penikmat sastra. Mencermati hal tersebut, jelas manusia berperan sebagai pendukung yang sangat menentukan dalam kehidupan sastra dan perkembangan sebuah karya sastra.
Karya sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan yang dapat membangkitkan pesona dengan alat bahasa dan dilukiskan dalam bentuk tulisan. Pada dasarnya, karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan. Karya sastra merupakan jenis hiburan yang bersifat intelektual dan spiritual. Dapat disimpulkan bahwa, karya sastra tersebut dapat memberikan sebuah wawasan dan pengetahuan bagi pembacaJadi, karya sastra dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup, walaupun dilukiskan dalam bentuk fiksi. Karya sastra juga dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan batin bagi penulis dan pembaca.

1
Karya sastra sebagai potret kehidupan masyarakat, merupakan suatu karya sastra yang dapat dinikmati, dipahami, dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya sastra tercipta karena adanya pengalaman batin seseorang berupa peristiwa, yang menarik sehingga muncul gagasan imajinasi yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan karya sastra akan menyumbangkan tata nilai figur dan tatanan masyarakat, walaupun karya sastra tersebut hanya berupa fiksi, namun pada kenyataannya karya sastra dapat memberikan nilai-nilai moral bagi pembacanya. Karya sastra selalu menampilkan gambaran dan kehidupan itu sendiri, yang merupakan kenyataan sosial. Dalam kehidupan tersebut akan mencakup hubungan antar orang dengan tuhan, manusia dengan Tuhannya, dan peristiwa yang terjadi pada batin seseorang.
Pradopo (1994: 59) menyatakan bahwa, karya sastra merupakan karya yang bersifat imajinatif. Artinya karya sastra itu terjadi akibat penanganan dan hasil penanganan itu adalah penemuan baru, kemudian penemuan baru itu disusun ke dalam suatu sistem dengan kekuatan imajinasi, sehingga tercipta suatu dunia baru yang sebelumnya belum ada sastra adalah kehidupan, sedangkan kehidupan adalah permainan yang paling menarik. Dilihat dari segi bahasa yang dipakai oleh pengarang, cara penulisan dalam sebuah karya sastra, dan latar belakang terciptanya sebuah karya sastra tersebut. Karya sastra bersifat imajinatif dapat disimpulkan bahwa karya sastra tersebut dapat mempengaruhi jiwa seorang pembaca, sehingga pembaca seolah-olah terbawa dan merasakan sendiri kejadian yang ada di dalam cerita novel. Manfaat lain dari karya sastra yaitu dapat dijadikan sebagai pengalaman untuk berkarya, karena siapa pun bisa menuangkan isi hati dan pikiran dalam sebuah tulisan yang bernilai seni.
Dengan membaca novel fiksi yang bagusibarat memainkan permainan yang tingkat kesulitannya dan bukannya seperti memainkan permainan yang sepele tempat para pemain menggambarkan atau mengabaikan peraturan yang ada (Stanton, 2007: 27). Maksud pendapat tersebut yakni, ketika membaca karangan fiksi, dibutuhkan pemahaman yang tinggi untuk bisa menangkap apa yang disampaikan oleh pengarang dalam sebuah karya sastra. Dalam memahami sebuah novel, sama halnya dengan menghayati dunia fantasi yang diciptakan oleh sastrawan, dan terkadang terbawa oleh cerita yang ada dalam novel tersebut. Akan tetapi, tidak cukup dengan hanya itu atau tidak cukup apabila hanya melihat teksnya saja, melainkan lebih lengkap apabila kita juga mampu mengungkapkan pengarang.
Aminuddin (1990: 29) menyatakan bahwa, keindahan bahasa atau fungsi estetis dalam sebuah karya sastra, sekaligus akan menambah bobot karya sastra tersebut. Gaya bahasa merupakan perwujudan gagasan pengarangnyaMaksud dari pernyataan tersebut adalah gaya bahasa berhubungan erat dengan cara pengarang menampilkan gagasan pada karyanya. Penampilan dan pengekspresian gagasan itu terwujud dalam bentuk gaya bahasa dengan beraneka ragamnya. Imajinasi yang tertuang dalam karya sastra meski dibalut dalam semangat kreatifitas, tidak lepas dari selera dan kecendrungan subjektif, aspirasi dan opini personal ketika merespon objek di luar dirinya, serta muatan-muatan individualis yang melekat pada diri penulisnya, sehingga ekspresi karya bekerja atas dasar kekuatan intuisi dan khayal, selain kekuatan menyerap realitas kehidupan.
Karya sastra lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah ada dalam jiwa pengarang, secara mendalam melalui proses imajinasi (Aminuddin, 2009: 57). Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, sebuah karya sastra lahir karena adanya keinginan dari pengarang untuk mengungkapkan eksistensinya sebagai manusia yang berisi ide, gagasan, dan pesan tertentu yang diilhami oleh imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang, serta menggunakan media bahasa sebagai penyampainya atau sebuah karya sastra, merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan kreativitas manusia dalam penciptaannya.
Seorang pengarang akan mengajak membaca memasuki pengalaman atau imajinasi karya sastra (Nurgiyantoro, 2007: 3). Maksud pendapat tersebut dapat disimpulkan, seorang pengarang akan menghayati berbagai permasalahan-permasalahan atau realita kehidupan dengan penuh kesungguhan, kemudian diungkap kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan imajinasi dan kreatifitas yang dimilikinya. Sastra dan tata-tata nilai kehidupan adalah dua fenomena sosial yang saling melengkapi sebagai sesuatu yang ekstensial. Sebagai miniatur, karya sastra berfungsi untuk menginfestasikan sejumlah besar kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi. Sebagai karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan.
Semi (1993: 73) menyatakan bahwa, pendekatan sosiologi bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat, melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalam karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Maksud dari pendapat tersebut yakni, seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan itu sendiri yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya. .
Atas dasar berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu karya sastra merupakan sebuah karya seni yang oleh seorang pengarang digunakan untuk tujuan hiburan dan memiliki aturan atau struktur tersendiri yang berbeda dengan karya seni yang lain. Dengan tujuan seorang pengarang biasanya akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan yang ada dalam cerita novel tersebut. Seperti halnya cerita pada novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan ini dapat membawa pembaca seakan-akan ada dalam kehidupan tersebut.
Kejadian atau peristiwa yang terjadi di dalam novel Penari Kecil, dihidupkan oleh tokoh-tokoh yang ditampilkan. Seorang pengarang akan melukiskan kehidupan manusia dengan persoalan-persoalan, konflik dengan orang lain ataupun konflik yang terjadi pada dirinya sendiri. Pengarang memegang peranan penting dalam menciptakan watak tokoh yang dilukiskan dalam karya sastra. Dalam novel Penari Kecil karya Sari safitri Mohan mencoba memberikan gambaran mengenai realitas kehidupan dengan berbagai macam persoalan yang terjadi dalam kehidupan tokoh dalam novel tersebut. Novel menyajikan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata yang mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Maka dari itu seorang pengarang berusaha semaksimal mungkin mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan lewat cerita yang ada dalam novel tersebut. Seperti halnya dalam novel Penari Kecil karya Sari safitri Mohan ini terlihat hidup.
Novel Penari Kecil dipilih dalam penelitian ini karena menarik untuk dikaji. Dalam novel ini terdapat nilai-nilai moral dalam setiap adegan jalannya cerita. Singkat cerita dalam novel ini, terdapat kehidupan sebuah keluarga yang begitu dinamis, semua tingkah laku dan perbuatan harus sesuai dengan konsep dan perhitungan sang Ayah. Intan dan Ira adalah pemeran tokoh anak yang merasa dibatasi ruang geraknya oleh peraturan-peraturan Ayahnya, terkadang harus berbohong agar dapat melakukan aktivitas seperti anak-anak yang lainnya. Seiring dengan dengan berjalannya waktu, akhirnya mereka berdua menyadari bahwa semua petuah yang pernah dikatakan sang Ayah selama ini, memang demi kebaikan anak-anaknya. Karakter-karakter dalam cerita novel ini, menggambarkan secara detail apa saja nilai-nilai moral yang terdapat dalam setiap jalannya cerita. Atas dasar alasan tersebut, peneliti akan berusaha menjelaskan apa saja nilai-nilai  moral yang terdapat dalam novel Penari Kecil  karya Sari Safitri Mohan di kaji secara sosiologi sastra.
Atas dasar masih terdapatnya pembelajaran sastra yang hanya menekankan sejarah sastra atau teori sastra saja, dan belum mempelajari apa itu apresiasi sastra beserta cara pengkajian sastra secara menyeluruh, bahkan pengkajian sastra umumnya masih pada struktur karya sastra (dengan pendekatan struktural), dan belum menyentuh makna sastra yang justru menjadi esensi sebuah karya sastra. Kekurangan terhadap pendekatan struktural ini mengharuskan pentingnya pemakaian teori lain yang lebih memungkinkan untuk menggali gagasan dan makna sastra. Maka dari itu pemilihan bahan pembelajaran sastra perlu mendapat fokus perhatian lebih, agar dapat meningkatkan kualitas dan cara siswa dalam mengapresiasi suatu karya sastra.
Berdasarkan pemaparan dan alasan tersebut, ada beberapa alasan peneliti menganalisis novel Penari Kecil, diantaranya sebagai berikut.
1.      Persoalan yang diangkat dalam novel Penari Kecil adalah bagaimana nilai-nilai moral yang diterapkan tokoh Ibrahim dalam hidup dan keluargannya.
2.      Analisis terhadap novel Penari Kecil dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra diperlukan untuk mengetahui kepribadian tokoh Ira dan Intan.
3.      Sepengetahuan peneliti, novel Penari Kecil belum pernah dianalisis secara khusus dengan pendekatan sosiologi sastra terutama yang berkaitan dengan bentuk nilai-nilai moral.
4.      Kaitannya dengan peneliti, secara khusus peneliti mendapatkan ilmu dan pengalaman yang bermanfaat berhubungan dengan penelitian sebuah novel, secara umum penelitian ini dapat dijadikan perbandingan atau referensi bagi orang lain, dengan tujuan menghasilkan penelitian yang lebih baik.
Berdasarkan pemaparan dan alasan di atas, penulis bermaksud mengadakan kajian lebih lanjut terhadap novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan yang diterbitkan oleh PT Gramedia Utama tahun 2013, dengan judul penelitian “Nilai Moral dalam Novel Penari Kecil Karya Sari Safitri Mohan Ditinjau Dari Segi sosiologi Sastra dan Implementasinya dalam Pembelajaran di SMK Muhammadiyah Delanggu”.
B.       RUMUSAN MASALAH
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang tepat, maka diperlukan suatu rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.
1.      Bagaimanakah unsur-unsur pembangun novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan?
2.      Bagaimana nilai-nilai moral pada novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan ditinjau berdasarkan sosiologis sastra? 
3.      Bagaimanakah implementasi hasil analisis ajaran moral pada novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan ditinjau dari segi sosiologi sastra sebagai bahan pembelajaran di SMK Muhammadiyah Delanggu?
C.      TUJUAN PENELITIAN
Melalui masalah tersebut, maka tujuan diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.      Mendeskripsikan unsur-unsur pembangun novel penari kecil karya Sari Safitri Mohan.
2.      Mendeskripsikan nilai-nilai moral pada novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan ditinjau berdasarkan sosiologi sastra
3.      Mendeskripsikan implementasi analisis ajaran moral pada novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan ditinjau dari segi sosiologi sastra sebagai bahan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMK Muhammadiyah Delanggu.
D.      MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat mencapai tujuan penelitian yang tepat, dan menghasilkan sebuah laporan yang sistematis, serta dapat bermanfaat dalam kehidupan secara umum. Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:
1.      Manfaat teoristis
a.       Sebagai karya ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara khusus dan bagi masyarakat luas pada umumnya.
b.      Penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam pembelajaran sastra mengenai nilai moral dalam novel Penar Kecil karya Sari Safitri Mohan.
2.      Manfaat Praktis
a.       Memberi masukan dalam perkembangan ilmu apresiasi sastra khususnya pada novel dengan tinjauan sosiologi sastra.
b.      Membantu pembaca dalam memahami makna pada salah satu karya sastra.
c.       Menambah khazanah pustaka sehingga dapat dijadikan suatu bahan perbandingan yang berhubungan dengan penelitian ini.
d.      Sebagai salah satu bahan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
E.       KAJIAN PENELITIAN YANG RELEVAN
       Untuk mengetahui keaslian atau keotentikan penelitian perlu adanya tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka adalah uraian sistematis tentang hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu yang berkaitan dengan masalah yang diteliti (Sangidu, 2004: 10). Tinjauan pustaka bertujuan untuk mengetahui keaslian penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Tinjauan terhadap hasil penelitian dan analisis sebelumnya ini akan dipaparkan yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian ini bukanlah satu-satunya penelitian yang membahas mengenai sudut pandang moral tokoh dengan tinjauan psikologis sastra saja. Namun, ada penelitian lain yang mempunyai sudut pandang sama dengan tinjauan yang berbeda. Dengan alasan, peneliti menggunakannya sebagai bahan rujukan, pembanding dan sebagai pelengkap dalam penelitian ini. Supaya dapat menghasilkan penelitian yang lebih baik.
       Penelitian yang dilakukan oleh Susanto (2011) yang berjudul Nilai-Nilai Moral dalam Kumpulan Pantun Melayu Tinjauan Sosiologi Sastra. Hasil penelitian ini berisi penjelasan yang terkandung dalam pesan Kumpulan Pantun Melayu antara lain: 1) Kumpulan Pantun Melayu berisi tentang masalah kehidupan yang kompleks yang menyangkut hubungan manusia diri sendiri, 2) berisi tentang masalah kehidupan yang kompleks yang menyangkut hubungan manusia manusia dengan Tuhan, 3) berisi tentang masalah kehidupan yang kompleks yang menyangkut hubungan manusia dengan sesama, 4) berisi tentang masalah kehidupan yang kompleks yang menyangkut hubungan manusia dengan lingkungannya. Kesimpulan pada penelitian tersebut yakni terkandung nilai edukatif dan nilai moral yang kuat.
       Persamaan antara penelitian di atas dengan penelitian ini adalah bentuk kajiannya dan sudut pandang moral, tinjauan penelitian yang digunakan. Kemudian perbedaan dengan penelitian ini adalah pada objek penelitiannya. Jika Susanto mengkaji Kumpulan Pantun Melayu, penelitian ini mengkaji novel Penari Kecil karya Sari Safitri mohan. Selain itu dalam penelitian ini juga akan diuraikan bagaimana implementasi hasil analisis nilai-nilai moral novel Penari Kecil karya Sari Safitri mohan dalam pembelajaran di SMK Muhammadiyah Delanggu.
       Penelitian yang dilakukan Latifatul Muasaroh (2012) yang berjudul Aspek Moral dalam Novel Pukat Serial Anak-anak Mamak Karya Tere Liye: Tinjauan Sosiologi Sastra. Hasil penelitian ini diperoleh tema novel adalah kehidupan anak desa yang memiliki kecerdasan. Alur novel PSAM, yaitu alur maju. Tokoh-tokoh yang dianalis dalam penelitian ini adalah tokoh utama, yaitu Pukat dan tokoh lainnya, yaitu Bapak Syahdan, Burlian, Mamak, Nur, Pak Bin, Ibu Ahmad, Sipahutar, Raju, Wak Yati, Nek Kiba, Saleha, dan Mang Dullah. Hasil penelitian berdasarkan aspek moral dalam novel PSAM dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra ditemukan tiga jenis aspek moral, yaitu (1) moral keagamaan, (2) moral kekeluargaan, dan (3) moral individu.
       Persamaan antara penelitian di atas dengan penelitian ini adalah bentuk kajiannya dan sama-sama mempunyai sudut pandang moral, unsur pembangun novel, tinjauan penelitian yang digunakan. Kemudian perbedaan dengan penelitian ini adalah pada objek. Jika Latifatul Muasaroh  mengkaji novel Pukat Serial Anak-anak Mamak karya Tere Liye, penelitian ini mengkaji novel Penari Kecil karya Sari Safitri mohan. Selain itu dalam penelitian ini juga akan diuraikan bagaimana implementasi hasil analisis nilai-nilai moral novel Penari Kecil karya Sari Safitri mohan dalam pembelajaran di SMK Muhammadiyah Delanggu.
        Penelitian yang dilakukan oleh Yeni Oktarina (2011) yang berjudul Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang terkandung dalam novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata: Tinjauan Sosiologi Sastra. Hasil penelitian ini diperoleh tema novel yakni nilai-nilai moral dalam kehidupan. Alur dalam novel ini menggunakan alur maju. Hasil lain yang ditemukan dalam analisis novel Laskar Pelangi adalah: (1) Nilai Kejujuran yang meliputi: a) pembentukan perilaku hati nurani yang lurus, b) membantu pengembangan kepribadian menjadi lebih baik secara istiqomah, c) penanaman akhlak yang baik. (2) Nilai Keteladanan, (3) Nilai Kesederhanaan, (4)  Nilai Kepemimpinan, (5) Nilai Persahabatan. Kesimpulan dalam penelitian ini yakni, dalam novel Laskar Pelangi berisi ajaran dan nilai moral yang kuat kepada pembaca, yang ditampilkan dalam setiaptokoh dalam cerita.
       Persamaan antara penelitian di atas dengan penelitian ini adalah bentuk kajiannya dan sudut pandang moral, unsur pembangun novel, tinjauan penelitian yang digunakan. Kemudian perbedaan dengan penelitian ini adalah pada objek penelitiannya. Jika Yeni Oktarina mengkaji novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata, penelitian ini mengkaji novel Penari Kecil karya Sari Safitri mohan. Selain itu dalam penelitian ini juga akan diuraikan bagaimana implementasi hasil analisis nilai-nilai moral novel Penari Kecil karya Sari Safitri mohan dalam pembelajaran di SMK Muhammadiyah Delanggu.
F.       Landasan Teori
1.    Pendekatan Struktural
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang berisi tentang cerita rekaan, memiliki struktur yang kompleks yang membentuk suatu makna dan estetika. Sebagai salah satu jenis karya sastra, dalam penyajiannya harus selalu memberikan pesan atau amanat pada pembaca (untuk berbuat baik), pesan atau amanat ini bisa berisi nilai-nilai moral. Dalam penelitian karya sastra tidak lepas dari menganalisis struktur yang membangun karya sastra tersebut. Metode analisis digunakan sebagai dasar untuk menganalisis karya sastra selanjutnya. Dalam penelitian sebuah karya sastra, tanpa analisis struktur dalam penelitian karya sastra tidak akan lengkap.
Ali Imron (1995: 370) menyatakan bahwa, strukturalisme adalah semua metode yang dengan tahap abstraksi tertentu menganggap semua objek studinya bukan sekedar sekumpulan unsur yang terpisah-pisah, melainkan suatu perpaduan unsur-unsur yang berkaitan satu dengan yang lain, yang satu bergantung dengan yang lain dan hanya dapat didefinisikan dalam hubungan dengan unsur-unsur lainnya dalam satu keseluruhan. Maksud dari pernyataan tersebut adalah, secara umum strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, di satu pihak antar hubungan unsur yang satu dengan unsur yang lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur dengan totalitasnya.

9
Analisis struktural merupakan suatu tahap dalam penelitian sastra yang tidak dapat dihindari, sebab hanya dengan analisis tersebut, baru memungkinkan menghasilkan hasil yang optimal. Pendekatan struktural sangat penting bagi sebuah karya sastra bahkan setiap analisis karya sastra tidak bisa meninggalkan analisis struktural begitu saja. Sebelum melangkah dalam tinjauan psikologi terlebih dahulu akan diterapkan pendekatan struktural pada karya sastra. Pada dasarnya arti strukturalis merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan atau deskripsi struktur-struktur. Pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki bagian yang kompleks, sehingga pemaknaan harus di arahkan ke dalam hubungan antar unsur secara keseluruhan.
Endraswara (2003: 50) menyatakan bahwa, karya sastra yang dibangun atas dasar bahasa, memiliki ciri bentuk (form) dan isi (content) atau makna (significance) yang otonom. Artinya pemahaman karya sastra dapat diteliti dari teks sastra itu sendiri. Hanya saja pemahaman harus mampu mengaitkan ketertautan antar unsur pembangun karya sastra. Ketertautan unsur itu akan membentuk sebuah makna utuh. Berarti prinsip menyeluruh sangat dipegang oleh kaum strukturalis. Salah satu ciri kesusastraan adalah usahanya untuk selalu menyimpang dari konvensi, menciptakan sesuatu yang baru, sehingga sistem tidak pernah stabil. Ketidakstabilan tersebut banyak mempengaruhi unsur-unsur karya sastra itu sendiri. Secara garis besar tujuan analisis struktural adalah untuk membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterkaitan dan keterjalinan berbagai unsur novel yang secara bersama-sama membentuk makna.
Stanton (2007: 20-46) menyatakan bahwa, dalam karya sastra unsur-unsur pendekatan struktural itu terdiri atas fakta cerita, tema dan sasrana sastra.
a.       Fakta cerita, termasuk dalam kategori fakta cerita adalah alur, tokoh dan latar, dalam istilah yang lain fakta cerita ini sering disebut sebagai struktural faktual dan tahapan faktual. Fakta cerita ini terlihat jelas dan mengisi secara dominan, sehingga pembaca sering mendapatkan kesulitan untuk mengidentifikasi unsur-unsurnya. Akan tetapi, perlu diingat bahwa fakta cerita bukan bagian yang terpisah dari cerita dan hanya merupakan salah satu aspeknya, cerita dipandang secara tertentu.
b.      Tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama. Tema merupakan aspek utama yang sejajar dengan makna dalam kehidupan manusia.
c.       Sarana cerita adalah metode pengarang untuk memilih dan menyususn detai atau bagian-bagian cerita, agar tercapai pola yang bermakna. Tujuan sarana cerita ini adalah agar pembaca dapat melihat fakta-fakta cerita melalui sudut pandang pengarang. Sarana cerita terdiri ats sudut pandang, gaya bahasa, simbol-simbol, imajinasi dan juga cara pemilihan judul di dalam karya sastra.
Tema sebagai unsur-unsur dalam pembangunan struktur cerita, dari tema cerita dapat dikembangkan lagi menjadi sebuah cerita. Fakta (facts) dalam sebuah cerita rekaan meliputi alur, latar, tokoh dan penokohan. Adapun sarana sastra (literary device) adalah tehnik yang digunakan pengarang untuk memilih atau menyusun detail-detail menjadi pola yang bermakna.
Teeuw (dalam Sangidu 2004: 17) menyatakan bahwa, tujuan metode analsisis strukturalisme karya sastra untuk membongkar dan memaparkan secermat dan sedalam mungkin, keterkaitan dan keterjalinan semua unsur sastra yang secara bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Maksud dari pernyataan Teeuw dalam buku Sangidu tersebut adalah sebuah pendekatan yang menekankan pada unsur-unsur di dalam (segi intrinsik) karya sastra. Analisis struktural merupakan prioritas pertama sebelum yang lain-lain. Tanpa analisis yang demikian, kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya sastra itu sendiri tidak akan tertangkap.
Teori strukturalisme merupakan tahap awal dalam penelitian sastra, yang harus dilakukan untuk mengetahui suatu karya sastra yang berkualitas atau tidak menekankan pada unsur-unsur pembangun karya sastra. Tetapi untuk mengetahui itu tidak hanya dilihat dari satu sisi saja, melainkan harus dari semua elemen yang ada dalam karya sastra. Elemen pembentuk dalam karya sastra itu, membentuk sastu kesatuan yang utuh sehingga tercipta kepaduan makna. Strukturalisme merupakan cara menganalisis struktur karya sastra dengan cara mencari, menentukan sejauh mana keterjalinan unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat menghasilkan makna totalitas.
Sangidu (2004: 16) menyatakan bahwa, teori strukturalisme sastra adalah suatu disiplin ilmu yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri dari beberapa unsur yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Pada aspek ini semua karya sastra baru bisa disebut bernilai jika ada masing-masing unsur pembentuk yang tercermin dalam strukturnya. Karya sastra sebagai unsur strukturalisme merupakan sebuah bangunan yang terdiri atas berbagai unsur yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Karena itu setiap ada perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur menyebabkan hubungan antara unsur berubah. Pembagian unsur pembangun dalam karya sastra yang digunakan dalam menganalisis karya sastra antara lain:
a.       Alur
Stanton (2007: 26) menyatakan bahwa, alur adalah rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Alur ini merupakan unsur pembangun karya sastra yang menjadi tulang punggung cerita. Dengan alur yang terkesan mengalir, diharapkan dapat merangsang rasa antusiasme dan berbagai pertanyaan pembaca. Dalam alur ada dua elemen yang dapat membangunnya itu adalah konflik dan klimaks. Berdasarkan pengertian alur menurut Stanton di atas, dapat disimpulkan bahwa, rangkaian-rangkaian peristiwa yang saling berhubungan dalam hubungannya dengan jalannya cerita pada suatu karya sastra, yang dapat memberikan sebuah gambaran kepada pembaca, sehingga pembaca dapat memahami inti atau makna cerita dari karya sastra tersebut.
Menurut Tasrif (dalam Nurgiyantoro, 2009: 149-150)  membedakan tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu sebagai berikut.
1)      Tahap Penyituasian (Situation)
Tahap penyituasian adalah tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar atau tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain, yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. Berhubungan dengan penjelaskan tersebut dapat disimpulkan bahwa, pada tahap tersebut dapat digunakan seorang penulis untuk memberikan imajinasi, gambaran awal kepada pembaca, yang secara tidak langsung berfungsi mengenalkan bagian awal dari sebuah cerita secara ringkas.
2)      Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstanses)
Tahap pemunculan konflik adalah tahap awal munculnya masalah-masalah yang menyulut terjadinya konflik. Jadi, tahap ini merupakan tahap munculnya konflik, dari konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap pertama dan kedua pada pembagian ini, tampaknya berkesuaian dengan tahap awal pada penahapan seperti yang dikemukakan di atas. Berhubungan dengan penjelaskan tersebut dapat disimpulkan bahwa, pada tahap ini pembaca mulai diperkenalkan keterkaitan setiap cerita yang akhirnya memunculkan konflik, pada saat inilah pembaca merasakan adanya ketegangan awal, sehingga secara tidak langsung penulis dapat menimbulkan rasa ingin tahu kepada pembaca. Atau bentuk-bentuk konflik sedikit demi sedikit mulai di munculkan yang berhubungan dengan konflik-konflik kecil yang terjadi sebelumnya, hingga pada akhirnya akan muncul dalam tahap berikutnya yakni peningkatan konflik.
3)      Tahap Peningkatan Konflik (Rising Action)
Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi secara internal, eksternal ataupun keduannya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan  antar kepentingan, masalah, dan tokoh-tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari. Berhubungan dengan penjelaskan tersebut dapat disimpulkan bahwa, pada tahap ini merupakan salah satu tahap lanjutan dari tahap yang sebelumnya. Dalam tahap ini pemunculan-pemunculan konflik pada bagian cerita semakin diperjelas, meskipun belum secara menyeluruh dipaparkan.
4)      Tahap Klimaks (Climax)
Konflik  atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks, atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian. Tahap ketiga dan keempat pembagian ini nampaknya berkesuaian dengan tahap tengah penahapan di atas. Berhubungan dengan penjelaskan tersebut dapat disimpulkan bahwa, pada tahap ini merupakan tahap puncak dari semua peristiwa yang sebelumnya telah dijelaskan pada tahap pemunculan konflik dan tahap peningkatan konflik, secara spesifik dalam tahap ini semua permasalahan, konflik-konflik telah diperjelas kejadiannya.
5)      Tahap Penyelesaian (Denoement)
Konflik yang mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub konflik, atau konflik-konflik-konflik tambahan, jika ada juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Tahap ini berkesuaian dengan tahap akhir di atas. Plot dalam sebuah karya fiksi pada umumnya mengandung tahapan di atas, baik yang dirinci menjadi tiga tahapan maupun yang lima tahapan, namun tempatnya tidaklah harus linear, runtut, kronologis seperti pembicaraan itu. Dalam kerja pengkajian plot suatu karya fiksi, perincian mana yang akan diikuti semuannya terserah pada orang yang bersangkutan. Berhubungan dengan penjelaskan tersebut dapat disimpulkan bahwa, dalam tahap ini merupakan tahap akhir dari penjelasan setiap bagian cerita yang sebelumnya sudah dijelaskan. Inti pada tahap ini adalah pemunculan cerita atau peristiwa yang semakin terasa fleksibel dan biasannya dicontohkan dengan adanya sebuah solusi dalam masalah yang sedang terjadi.
Menurut Nurgiyantoro (2009: 153-155), membedakan alur berdasarkan urutan waktu menjadi tiga jenis seperti berikut.
1)      Plot Lurus, Maju, atau Progresif
Plot sebuah novel dikatakan lurus, maju atau progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa selanjutnya. Atau, secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), konflik tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). Jika dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar plot progresif tersebut akan berwujud sebagai berikut.
A         B         C         D         E.
Berhubungan dengan penjelaskan tersebut dapat disimpulkan bahwa, dalam sebuah cerita dijelaskan secara urut dan berkesinambungan, biasannya dimulai dari tahap penyesuaian cerita hingga ke tahap akhir yakni tahap penyelesaian. Dengan tujuan supaya pembaca mempunyai gambaran sejak awal mengenai apa, siapa dan bagaimana cerita tersebut.
2)         Plot Mundur, Sorot Balik atau Flash Back, Regresif
Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan tahap awal cerita secara logika), melainkan dari tahap tengah atau tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Karya yang berplot jenis ini, dengan demikian langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik atau adegan konflik yang telah meruncing. Berhubungan dengan penjelaskan tersebut dapat disimpulkan bahwa, pembaca langsung ditujukan pada inti cerita, dan sebelumnya tanpa diberikan gambaran awal terlebih dahulu. Kelemahan dalam plot ini dapat menyebabkan kesan membingungkan terhadap pembaca, apabila pembaca kurang menghayati dan mengikuti pada tiap-tiap bagian.
3)      Plot Campuran
Merupakan cerita yang di dalamnya tidak hanya mengandung plot progresif saja, tetapi juga yang terdapat adegan-adegan sorot balik. Peristiwa cerita berjalan dimulai dari masa lalu, berjalan ke masa kini, lalu ke masa lalu lagi dan bisa juga sebaliknya. Peristiwa cerita terjalin secara bolak-balik, atau dalam pengutararaan peristiwa-peristiwa pokok, pembaca diajak mengenang peristiwa-peristiwa yang lampau, kemudian mengenang peristiwa pokok ( dialami oleh tokoh utama) lagi. Contohnya plot campuran antara lain konflik – pemunculan masalah – perkenalan – klimaks – antiklimaks – penyelesaian. Berhubungan dengan penjelaskan tersebut dapat disimpulkan bahwa, pada bagian ini pembaca dituntut untuk benar-benar memahami dan konsisten dalam membaca cerita, hal ini disebabkan adanya proses jalannya cerita yang maju mundur, untuk itulah tingkat keseriusan pembaca memang benar-benar dibutuhkan.
 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa alur merupakan jalinan urutan peristiwa yang membentuk satu kesatuan cerita yang runtut dari awal sampai akhir dan pesan-pesan pengarang dapat ditangkap oleh pembaca.
b.      Karakter (Penokohan)
Tokoh-tokoh yang diperankan dalam sebuah cerita novel merupakan rekaan yang dibuat oleh penulis. Hal ini dilakukan agar terbentuk suatu rekaan yang menggambarkan seorang tokoh secara jelas seolah-olah nyata dalam memainkan suatu peran, sehingga cerita dapat dipahami oleh pembaca. Dalam pembicaraan sebuah fiksi ada istilah tokoh, penokohan, dan perwatakan. Kehadiran tokoh dalam cerita fiksi merupakan unsur yang sangat penting bahkan menentukan. Tidak mungkin ada cerita tanpa kehadiran tokoh yang diceritakan, dan tanpa adanya gerak tokoh yang akhirnya membentuk alur cerita. Rangkaian alur cerita merupakan hubungan yang logis yang terkait oleh waktu.
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2009: 165-166) menyatakan bahwa, tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu cerita karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memilki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas kepribadiannya, erat berkaitan dengan bagaimana penerimaan oleh pembaca.
Lubis (dalam Al Ma’ruf, 2009: 83) menyatakan bahwa, penokohan secara wajar dapat dipetanggung jawabkan dari psikologis, sosiologis, fisiologis, dengan tujuan untuk memahami lebih dalam penokohan secara sistematis. Karena tokoh mempunyai kepribadian dan berwatak, maka dia memiliki sifat-sifat karakteristik yang dapat dirumuskan dalam tiga dimensi, yaitu:
2)      Dimensi fisiologis, adalah dimensi yang berkaitan dengan fisik seseorang.
Misalnya: usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka dan badan.
3)      Dimensi sosiologis, adalah dimensi yang berhubungan dengan ciri-ciri kehidupan dalam masyarakat.
Misalnya: status sosial, pekerjaan, jabatan, tingkat pendidikan, agama dan   keturunan.
4)      Dimensi psikologis adalah dimensi yang berkaitan tentang masalah kejiwaan seseorang.
Misalnya: ambisi, cita-cita, temperamen atau latar belakang kejiwaan.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya dari pada istilah “tokoh” dan “perwatakan”, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh dalam suatu cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita, sehingga  sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
c.       Latar
Stanton (2007: 35) menyatakan bahwa, latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Cerita dalam sebuah novel akan seolah hidup karena pengaruh latar yang digunakan dalam cerita tersebut. Maksud dari pengertian tersebut yakni, kehadiran latar dalam sebuah cerita fiksi sangat penting. Karya fiksi sebagai sebuah dunia dalam kemungkinan adalah dunia yang dilengkapi dengan tokoh penghuni dan segala permasalahannya. Kehadiran tokoh ini mutlak memerlukan ruang dan waktu. Latar atau setting adalah sesuatu yang menggambarkan situasi atau keadaan dalam penceriteraan atau dalam pengertian lain latar merupakan tempat terjadinya peristiwa dalam cerita sehingga menimbulkan kesan realistis dan benar-benar terjadi apada pembaca. Latar dalam novel tidak hanya terbatas pada penempatan lokasi saja, melainkan nilai-nilai adat yang bersangkutan.
 Membaca sebuah karya fiksi sering dirasakan adanya perbedaan peranan latar, pada karya tertentu tampak latar sekedar dipergunakan sebagai tempat pijakan berlangsungnya cerita saja. Sebaliknya, pada karya fiksi yang lain latar mempunyai peranan dalam pengembangan cerita. Unsur latar yang ditekankan peranannya dalam sebuah novel secara langsung maupun tidak langsung, akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh. Unsur latar tersebut dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu latar tempat, latar waktu dan latar sosial.
1)      Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat yang dapat dijumpai dalam dunia nyata ataupun tempat-tempat tertentu yang tidak disebut dengan jelas tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri. Latar tempat tanpa nama biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan dan sebagainya. Keberhasilan latar tempat lebih ditentukan oleh ketepatan deskripsi, fungsi dan keterpaduan dengan unsur latar atau unsur fiksi yang lain, sehingga semuanya bersifat saling mengisi. Maksud pendapat di atas, secara garis besar cara mudah menemukan sebuah latar tempat yaitu dengan cara menganalisis dimana peristiwa-peristiwa yang sering ditonjolkan pada cerita novel, tentunya dengan pembacaan dan pemahaman yang menyeluruh sebelum menyimpulkan atau menemukan sebuah latar tempat.
2)      Latar waktu menyaran pada kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap sejarah itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam suasana cerita. Maksud dari penjelasan tersebut yakni, untuk menentukan latar waktu, pembaca dapat memahami cerita berdasarkan kapan sebuah peristiwa itu terjadi. Dengan adanya pemahaman secara menyeluruh tetntu akan jauh lebih mudah untuk menentukan latar waktu, pendapat ini berhubungan dengan kebiasaan penulis yang cenderung mengesani pembaca, seolah-olah cerita yang disampaikan sungguh ada dan pernah benar-benar terjadi.
3)      Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Berkaitan dengan cara menganalisis suatu latar, dapat disimpulkan melalui bagaimana gambaran tata cara kehidupan masyarakat pada novel tersebut, contohnya: kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, selain itu latar sosial berhubungan dengan status sosia atau tingkat kasta  tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atas. Jadi, latar sosial ini tetap berhubungan dengan unsur tempat dan waktu. Ketiga unsur tersebut akan saling mendukung dan menyaran pada makna yang terdapat dalam novel itu sendiri.
d.      Tema
Stanton (2007: 36) mengemukakan bahwa, tema adalah aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan pengalaman begitu diingat. Tema merupakan salah satu unsur pembangun karya sastra yang penting. Hal yang akan dituangkan pengarang dalam sebuah novel, merupakan pokok pikiran pengarang juga disebut tema. Di dalam tema itu sendiri, terdapat makna yang akan disampaikan penulis kepada pembaca. Salah satu contoh adalah novel yang mana merupakan salah satu karya sastra yang memaparkan cerita yang terjadi di sekitar pengarang, atau yang berisi pengalaman pengarang. Jadi, dapat disimpulkan tema adalah gagasan utama penulis untuk membuat atau mengembangkan sebuah cerita. Di dalam pembuatan sebuah karya fiksi, penulis dituntut harus teliti dalam menentukan sebuah tema sebelum menuliskan sebuah karya, hal ini penting dikarenakan berhubungan langsung mengenai respect penikmat karya fiksi itu sendiri terhadap karya seorang penulis.
Sesuai dengan penjelasan di atas, tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda, penggolongan tema berdasarkan sudut pandangnya antara lain, (1) penggolongan dikhotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, (2) penggolongan tema dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut  Shipley, (3) penggolongan tema dari tingkat keutamaannya. Berikut ini penjelasan tema berdasarkan sudut pandangnya.
1)      Dikhotomis (tema tradisional dan nontradisional)
a)      Tema Tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu saja”, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, temasuk cerita lama. Atau dalam pengertian yang lain, tema jenis ini sangat berkaitan dengan kejahatan dan kebenaran. Pada umumnya disukai semua kalangan karena kebanyakan manusia memang menyujai kebenaran dan membenci kejahatan. Tema tradisional walau banyak variasinya, boleh dikatakan selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan. Dapat disimpulkan bahwa maksud pengertian di atas yaitu, tema tradisional merupakan tema yang digemari orang dengan status sosial apapun, di manapun, dan kapanpun.
b)      Tema Nontradisional yaitu tema sebuah karya sastra yang mungkin saja mengangkat sesuatu yang tidak lazim atau tidak sesuai dengan harapan pembaca, melawan arus, mengejutkan dan tidak sesuai dengan harapan pembaca. Contohnya, orang yang baik, yang jujur, atau semua tokoh yang digolongkan sebagai protagonis akhirnya mengalami kemenangan. Sebaliknya, tokoh yang jahat, atau yang digolongkan sebagai antagonis, walau pada mulanya mengalami kejayaan, akhirnya dapat dikalahkan. Jika terjadi hal yang sebaliknya, yaitu tokoh yang baik dikalahkan, pembaca akan menggugat walaupun hanya dalam pikiran mereka.
2)      Tema Menurut Shipley
a)      Tema Tingkat Fisik, manusia sebagai (atau, dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as molecul. Dalam kaitannya dengan ini, tema pada karya sastra lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik dari pada kejiwaan. Dikarenakan lebih menonjolkannya aktivitas fisik dari pada aspek kejiwaan unsur latar dalam novel dengan penonjolan tema tingkat ini, begitu terasa mendapatkan penekanan. Contohnya: Around the World in Eighty Days karya Julius Verne.
b)      Tema Tingkat Organik, manusia sebagai (atau, dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protopalsm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia, mendapat penekanan dalam novel dengan tema tingkat ini, khususnya kehidupan seksual yang bersifat menyimpang. Misalnya berupa penyelewengan dan penghianatan suami istri atau skandal seksual lainnya. Contoh: Novel Senja di Jakarta, Tanah Gersang, Maut dan Cinta.
c)      Tema Tingkat Sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan interaksinya manusia dengan sesama dan manusia dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan dst. Contoh: Novel Royan Revolusi, Ronggeng Dukuh Paruk, Canting.
d)     Tema Tingkat Egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia juga sebagai makhluk individu yang senantiasa menuntut pengakuan hak individualitasnya. Dalam kedudukannya, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individualitas itu antara lain berupa masalah ego, martabat, harga diri. Contoh: Novel Atheis, Jalan Tak Ada Ujung, Gairah untuk Hidup dan untuk Mati.
e)      Tema Tingkat Divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Masalah yang menonjol pada tema ini adalah masalah hubungan manusia dengan Tuhan, masalah religiositas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan. Contoh: Robohnya Surau Kami, Datangnya dan Perginya.


3)      Tema Utama dan Tambahan (tema mayor dan tema minor)
a)      Tema Mayor yaitu makna pokok cerita yang menjadi dasaratau gagasan dasar umum karya itu. Dalam menentukan tema pokok sebuah cerita, pada hakikatnya merupakan aktivitasn memilih, mempertimbangkan, dan menilai, diantara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya yang bersangkutan.
b)      Tema Minor yaitu makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu suatu cerita, dan dapat diidentifikasi sebagai makna bagian, makna tambahan. Dengan demikian, banyak sedikitnya tema minor tergantung pada banyak sedikitnya makna tambahan yang dapat ditafsirkan dari sebuah cerita novel.
1.    Teori Sosiologi Sastra
a.    Pengertian Sosiologi Sastra
       Saraswati (2003: 2) menyatakan bahwa, sosiologi berasal dari kata socio atau society yang bermakna masyarakat dan logi atau logos yang artinya ilmu. Jadi, sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat atau ilmu tentang kehidupan masyarakat. Maksud pendapat tersebut menurut peneliti yakni, suatu ilmu yang mempelajari sebuah latar belakang atau pun sudut pandang mengenai masyarakat.
       Sosiologi dan sastra merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya bisa saling melengkapi. Sosiologi bukan hanya menghubungkan manusia dengan lingkungan sosial budayanya, tetapi juga dengan alam (Endraswara, 2003: 77). Maksud pendapat tersebut yakni, ilmu sosiologi bukan hanya secara khusus mempelajari suatu tatanan kehidupan dan berlatar belakang masyarakat saja, akan tetapi keterkaitan sosiologi dengan lingkungan atau alam. Sosiologi lingkungan biasanya menempatkan penekanan khusus ketika mempelajari faktor sosial yang mengakibatkan masalah lingkungan, dampak masyarakat terhadap masalah-masalah tersebut, dan usaha untuk menyelesaikan masalah tersebut.
       Ratna (2003: 11) menyatakan bahwa, karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi gejala sosial. sedangkan tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Maksud pendapat tersebut yakni karya sastra bukan hanya berlatar belakang masalah individu saja, akan tetapi karya sastra juga tercipta karena latar belakang sebuah masyarakat.
       Soeryono Soekanto (dalam Sri Wahyuningtyas, 2011: 21) berpendapat bahwa, fungsi sosiologi adalah untuk memahami suatu perilaku manusia. Maksud pernyataan tersebut menurut peneliti yakni,  pada dasarnya ilmu sosiologi adalah ilmu yang mempelajari sebuah masyarakat, dan manusia merupakan bagian dari masyrakat. Peranan kehidupan manusia dalam sebuah masyarakat, sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan sosialnya. Dengan adanya aturan sosial tersebut, pada dasarnya akan mencakup bagaimana unsur-unsur individu atau pribadi dalam masyarakat, atau bagaimana kehidupan yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut. Kesimpulannya, manusia adalah bagian dari masyarakat, dan dalam kehidupan bermasyarakat pasti akan mengandung paradigma tertentu, inilah sebenarnya ilmu sosiologi mengkaji masalah tersebut.
       Endraswara (2003: 77) menyatakan bahwa, karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan jamannya. Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diamati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Maksud pendapat di atas adalah, sebuah asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial, akan tetapi kalahiran sebuah karya sastra itu dikarenakan adanya kehidupan sosial yang akan menjadi objek menarik bagi sastrawan dan diwujudkan dalam bentuk karya sastra, baik tertulis maupun lisan.
b.      Pendekatan Sosiologi Sastra
       Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.  Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah kebenaran, penggambaran, atau yang hendak digambarkan. 
       Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dapat dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu karya sastra. Teori sosiologi sastra, tidak semata-mata digunakan untuk menjelaskan kenyataan sosial yang dipindahkan atau disalin pengarang dalam sebuah karya sastra.
       Teori tersebut juga digunakan untuk menganalisis hubungan wilayah budaya seorang pengarang dengan karyanya, hubungan karya sastra dengan suatu kelompok sosial, hubungan antara selera massa, dan kualitas suatu ciptaan karya sastra serta hubungan gejala-gejala sosial yang timbul di sekitar pengarang dengan karyanya. Kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa, teori-teori sosiologi yang digunakan untuk menganalisis sebuah ciptaan sastra tidak dapat mengabaikan eksistensi pengarang, dunia, dan pengalaman batinnya, serta budaya tempat karya sastra itu dilahirkan.     
       Ratna (2003: 331) menyatakan bahwa, sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran, stagnasi, bahkan dianggap sebagai involusi. Analisis strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi masyarakat yang justru merupakan asal-usulnya. Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, satu-satunya cara adalah mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakat, dan memahaminya sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.
       Damono (2002: 3) menyatakan bahwa,  ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi sastra. Klasifikasi dalam sosiologi menurut Damono adalah sebagai berikut.
1.    Pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin sosial belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra. Sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri.
2.    Pendekatan yang mengutamakan sastra sebagai bahan telaah. Metode yang digunakan adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi sosial di luar sastra.
c.       Langkah Kerja Sosiologi Sastra
       Menurut Ratna (2003: 2) menyatakan bahwa, ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain :
1.    Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyakatannya.
2.    Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung didalamnya.
3.    Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatar belakangi.
4.    Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat.
5.    Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
       Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan.
       Ratna (2006: 339-340) mengemukakan bahwa, sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat. Oleh karena itu, model analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga macam adalah sebagai berikut.
1.    Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi.
2.    Sama dengan yang pertama, tetapi dengan cara menemukan hubungan antara struktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.
3.    Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu.
       Berdasarkan semua pendapat di atas, peneliti menyimpulkan pengertian dari ilmu sosiologi sastra  yakni.
       Sosiologi sastra merupakan hubungan antara disiplin ilmu sastra dan ilmu sosiologi untuk memberi penjelasan yang mendalam mengenai gambaran yang lebih mendalam mengenai hubungan kemasyarakata yang terdapat dalam suatu karya sastra. Disiplin ilmu sosiologi yang digunakan dalam penelitian sastra hanya berfungsi sebagai alat bantu agar lebih memahami aspek-aspek sosial yang menjadi muatan dalam suatu karya sastra.



3.   Nilai-Nilai Moral
       Nurgiyantoro (2009: 323-326) menyatakan bahwa, pandangan seseorang terhadap moral, nilai-nilai, dan kecenderungan-kecenderungan biasanya dipengaruhi oleh pandangan hidup bangsa yang bersangkutan. Apabila disimpulkan dari pendapat di atas, moral dalam karya sastra memberikan pesan kebenaran yang umum dan dapat diakui oleh masyarakat pembaca sastra, dimanapun mereka berada tanpa terkecuali adat, daerah, suku, dan kebangsaan. Moral dalam karya sastra menyarankan pengertian tentang ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, susila. Bermoral berarti mempunyai pertimbangan baik buruk yang bersifat relatif yang ditampilkan lewat tema dan tokoh-tokoh dalam cerita. Bersifat relatif adalah sesuatu yang dipandang baik oleh orang yang satu atau bangsa pada umumnya, belum tentu sama bagi orang atau bangsa lain.
       Semi (1993: 71) menyatakan bahwa, moral berasal dari kata “mores” yang berarti dalam kehidupan, adat istiadat atau kebiasaan. Moral dalam pengertian filsafat merupakan suatu konsep yang telah dirumuskan oleh sebuah masyarakat bagi menentukan kebaikan atau keburukan. Maksud pengertian tersebut yakni, moral merupakan suatu norma tentang kehidupan yang telah diberikan kedudukan istimewa dalam kegiatan atau kehidupan sebuah masyarakat.
        Setiadi (2006: 116) menyatakan bahwa, sesuatu dipandang bernilai karena sesuatu itu berguna maka disebut nilai kegunaan, bila benar dipandang bernilai maka disebut nilai kebenaran, indah dipandang bernilai maka disebut nilai keindahan (estetis), baik dipandang bernilai maka disebut nilai moral (etis), religius dipandang bernilai maka disebut nilai keagamaan. Maksud dari pendapat tersebut adalah, seperti pendapat tersebut nilai mempunyai beberapa kategori apabila diklasifikasikan. Nilai juga dapat diartika segala sesuatu yang berhubungan erat dengan kegiatan atau baik-buruknya sifat manusia. Pengertian lain dari nilai yakni, menilai berarti menimbang, mengkaji, mempertimbangkan yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, yang selanjutnya diambil suatu keputusan.
       Bertens (2000: 143-147) menyatakan bahwa, meskipun nilai moral biasanya menumpang pada nilai-nilai lain, namun ia tampak sebagai nilai baru, bahkan sebagai nilai tertinggi dan ciri-ciri sebagai berikut.
1.    Berkaitan dengan tanggung jawab kita
       Nilai moral ialah nilai yang berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Nilai-nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang bersalah atau tidak bersalah. Karena ia bertanggung jawab. Mkasud pendapat ini menurut peneliti yaitu, nilai moral diidentikan dengan pribadi seseorang yang melakukan sebuah tindakan, yang berhubungan dengan sebab akibat dan sebuah tanggung jawab.
2.    Berkaitan dengan hati nurani
Salah satu ciri khas nilai moral bahwa, hanya nilai ini menimbulkan “suara” dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan menguji kita bila mewujudkan nilai-nilai moral. Menurut peneliti, maksud pendapat tersebut yaitu secara wujud nilai moral memang tidak berwujud, tetapi nilai moral hanya bisa dirasakan dalam hati, baik ketika seseorang tersebut menentang ataupun menuruti nilai-nilai moral yang ada.
3.    Kewajiban
Bahwa nilai moral mewajibkan kita secara absolut dan tidak bisa ditawar-tawar. Nilai-nilai moral harus diakui dan harus direalisasikan. Tidak bisa diterima, bila seseorang acuh tak acuh terhadap nilai-nilai ini.  Menurut peneliti, maksud pendapat tersebut yaitu nilai-nilai moral memang harus diakui keberadaannya di kehidupan kita, apabila kita menjalankan nilai-nilai tersebut akan terasa dampaknya, tetapi apabila kita mengacuhkan nilai-nilai tersebut, kita juga akan merasakan dan menerima dampak atau sangsi pada diri kita. Hal tersebut memang berjalan seiring dengan pengertian nilai moral sebagai suatu kewajiban, dan kewajiban kita sebagai manusia adalah melakukan hal-hal yang baik dan berfikir bijak.
4.    Bersifat formal
Kita merealisasikan nilai-nilai moral dengan mengikutsertakan nilai-nilai lain dalam suatu tingkah laku moral, tidak ada nilai-nilai murni yang terlepas dari nilai-nilai lain. hal itulah yang disebut dengan mengatakan bahwa nilai moral itu bersifat formal. Menurut peneliti, maksud pendapat tersebut yaitu di dalam sebuah kehidupan di masyarakat, kita tidak bisa meninggalkan dan mengacuhkan nilai-nilai moral tersebut. Dampak nilai-nilai moral memang tidak semua ada secara tetrulis, tetapi dampak tersebut memang benar-benar ada dan dirasakan. Itulah mengapa nilai-nilai moral itu bersifat formal. Semua itu terkait aturan-aturan yang tidak bisa ditinggalkan.
Menurut  Faisal Hussein (2010), lebih lanjut dijelaskan bahwa moral merupakan nilai-nilai, kaidah, norma, atau pranata yang mengatur perilaku setiap individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat umumnya. Maksud penjelasan tersebut menurut peneliti yaitu, kata moral selalu mengacu kepada baik buruk sifat manusia. Sikap moral disebut juga moralitas yaitu sikap hati seseorang yang terwujud dalam tindakan seseorang. Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih, dan hanya moralitaslah yang dapat bernilai secara moralDengan alasan, moralitas merupakan masalah nilai kehidupan yang mengontrol keputusan dan tindakan setiap manusia.
Menurut Suseno (1987: 142-150) sikap dan tindakan yang berkaitan dengan nilai moral, yakni sebagai berikut.
1.    Kejujuran
       Suseno (1987: 142-143) menyatakan bahwa, bersikap terhadap orang lain tetapi tanpa kejujuran adalah kemunafikanMaksud pendapat tersebut yaitu, bersikap mempunyai makna perbuatan ataupun perkataan terhadap orang lain. kejujuran adalah modal utama dalam kehidupan sosial. Tanpa adanya kejujuran pada diri sendiri, sesuai dengan pendapat di atas, kita akan disebut orang yang munafik.
2.    Nilai-Nilai Otentik
       Otentik berarti asli. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati, menunjukkan dirinya sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya. Maksud pendapat tersebut yaitu, manusia yang jujur apa adanya, bagaimana dan siapa dirinya. Manusia yang mampu menjadi dirinya sendiri dalam keadaan apapun, kepada setiap orang. Tindakan tersebut bertujuan supaya manusia itu menjadi pribadi yang bernilai baik pada dirinya sendiri ataupun bagi orang lain.
3.    Moral Bertanggung Jawab
       Kesediaan untuk bertanggung jawab adalah, kesediaan untuk melakukan apa yang harus dilkukan dengan sebaik mungkin. Maksud dari pernyataan tersebut yakni, bertanggung jawab mempunyai pengertian bagaimana sikap seseorang, terhadap tugas yang menjadi kwajiban orang tersebut. Bertanggung jawab juga berarti, sikap berani mempertanggung jawabkan atas apapun  yang telah diperbuat.
4.     Moral Kemandirian
       Moral kemandirian yaitu mempunyai mempunyai pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengan hati nurani, tidak ikut-ikutan dengan berbagai pandangan moral di lingkungannya. Maksud pendapat tersebut yakni, mempunyai prinsip dan jiwa mandiri dalam menentukan dan memilih apa yang menjadi tujuannya, dan tidak meniru orang-orang disekitarnya.
5.    Moral Kerendahan Hati
       Moral kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya. Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya melainkan juga kekuatannya, sehingga sadar akan keterbatasan kita. Maksud pernyataan tersebut adalah sikap selalu rendah hati, tidak menilai dirinya sendiri selalu yang terbaik diantara orang-orang disekitarnya. Sikap rendah hati pasti selalu meu mendengar nasihat dari orang lain, karena merasa bahwa dirinya belum jadi yang terbaik diantara orang sekitarnya.
6.    Moral Keberanian
       Moral keberanian yaitu menunjukan diri dalam tekad, untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban apabila tidak disetujui secara aktif dilawan oleh lingkungan, berani menyatakan diri dalam kesedianan untuk mengambil resiko konflik. Maksud pendapat tersebut yakni, mampu menempatkan diri, dan siap berani mempertanggung jawabkan segala konsekuensi atas apa yang telah diyakini, diputuskan.
7.    Realistis dan Kritis
       Tanggung jawab moral, supaya kita terus-menerus memperbaiki apa yang ada, supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia. Maksud pernyataan tersebut yakni, mampu berfikir dan menempatkan diri kita sebaik mungkin dalam situasi dan kondisi apapun, dan tidak meninggalkan kepekaan, kepedulian kita sebagai manusia terhadap lingkungan sekitar. Mampu menanggapi apapun yang terjadi disekeliling kita dengan pemikiran yang rasional.
4.      Implementasi Pembelajaran Sastra di Sekolah
       Lazar (dalam Al-Ma’ruf, 2007: 64) menjelaskan bahwa, fungsi pembelajaran sastra adalah: (1) sebagai alat untuk merangsang sisiwa dalam menggambarkan pengalaman, perasaan dan pendapat, (2) sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan intelektual dan emosionalnya dalam mempelajari bahasa dan (3)  sebagai alat untuk memberi stimulus dalam pemerolehan kemampuan berbahasa. Dalam bahasa yang lebih sederhana, pembelajaran sastra memiliki fungdi psikologis, ideologis, edukatif, moral dan kultural. Penelitian ini nantinya diimplementasikan implementasi pembelajaran bahasa dan sastra di SMK Muhammadiyah Delanggu. Menindaklanjuti pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses, suatu aktivitas yang digunakan untuk mentransfer ide atau gagasan, dimana program yang dituangkan dalam desain (tertulis) agar dilaksanakan sesuai dengan desain tersebut. Berdasarkan pendapat tersebut akan digunakan pada penelitian ini, dengan tujuan apakah novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan dapat diterapkan dalam pembelajaran sastra di sekolah, apakah novel Penari Kecil tersebut sesuai dengan pembelajaran di SMK Muhammadiyah Delanggu.
Sesuai pernyataan tersebut maka peneliti akan mencoba menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam novel Penari Kecil pada pembelajaran. Selanjutnya peneliti akan menyimpulkan hasil temuan di lapangan, apakah novel Penari Kecil digunakan sebagai sumber ajar Bahasa Indonesia di SMK Muhammadiyah Delanggu.
Adapun langkah-langkah implementasi dalam pembelajaran sebagai berikut:
a.    Peneliti melakukan observasi lingkungan sekolah dan kegiatan belajar mengajar, dilanjutkan penyampaian materi mengenai unsur intrinsik dan ekstrinsik novel, pengertian, apa dan bagaimana niliai-nilai moral dalam novel dan hubungan ilmu sosiologi dengan novel (sosiologi sastra).
b.    Mengaitkan sastra dengan menerapkan pada pembelajaran di SMK Muhammadiyah Delanggu, sebagai alternatif pembelajaran membaca.
c.       Pembagian sinopsis novel dilanjutkan kegiatan menganalisis unsur struktur novel, mengelompokkan teks-teks yang terdapat dalam novel Penari Kecil sesuai dengan nilai moral menurut Suseno (1987: 142-150) yang terdapat dalam novel tersebut menggunakan teori sosiologi sastra.
d.   Mengadakan pertanyaan atau kuis berkaitan dengan materi tersebut.
e.    Bagi siswa, menyampaikan bentuk intrinsik dan ekstrinsik novel. Bagi peneliti, menyimpulkan mengapa novel tersebut penting untuk diteliti dan membuat kesimpulan berkaitan dengan hasil pengumpulan data secara keseluruhan di lapangan.

     

















H.      Metode Penelitian
1.         Jenis dan Strategi Penelitian
       Menurut Aminuddin (1990: 16), penelitian kualitatif deskriptif adalah penelitian dimana data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena, tidak berupa angka-angka atau koefisien tentang hubungan antar variabel. Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif, artinya data yang dianalisis dan hasilnya analisisnya berbentuk deskripsi. Menurut Moleong (2004: 6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian.
       Sutopo (2002: 139) menyatakan bahwa, strategi penelitian terpancang (embedded research) Studi kasus terpancang adalah penelitian yang sudah terarah pada batasan atau fokus tertentu yang dijadikan sasaran dalam penelitian. Pada penelitian novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan ini memaparkan strategi terpancang karena peneliti telah menetapkan masalah tentang bagaimana struktur pembentuk novel, bagaimana ajaran moral, terhadap keadaan psikologis tokoh pada novel ini, dan apa tujuan penelitian  sejak awal penelitian dilakukan.
2.         Objek Penelitian
       Objek penelitian merupakan variabel yang diteliti, baik berupa peristiwa, tingkah laku, aktivitas atau gejala-gejala sosial lainnya. Dalam penelitian ini objek yang dikaji adalah ajaran moral novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan.
3.   Data dan Sumber Data
a.       Data 
Data dalam penelitian ini yaitu data kualitatif. Data kualitatif adalah data berupa kata, gambar dan bukan angka (Aminudin, 1990: 16). Data yang diteliti dalam penelitian ini wacana yang mengandung ajaran moral yang terdapat pada novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan.
b.      Sumber Data
Sumber data adalah subjek penelitian dari mana data diperoleh. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua macam antara lain sebagai berikut.
1)     Sumber data Primer
Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses langsung dari sumbernya tanpa lewat perantara. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah teks novel Penari Kecil karya Sari safitri Mohan terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cetakan tahun 2013.
2)     Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber kedua. Sumber data sekunder pada penelitian ini adalah sumber selain sumber data primer atau acuan yang bersumber dari masalah yang menjadi objek penelitian. Adapun sumber data sekunder adalah beberapa data sekunder dari penelitian ini adalah dari referensi yang diambil dari buku dan hasil penelitian yang relevan dengan objek kajian atau data-data yang bersumber dari buku-buku acuan yang berhubungan dengan permasalahan yang  menjadi objek penelitian. Contohnya: Buku Sosiologi Sastra, Pembelajaran Moral, Teori Pengkajian Fiksi, Metode Penelitian Sastra, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia dll.
4Teknik Pengumpulan Data
Soebroto (dalam Al Ma’ruf, 2009: 6) menyatakan bahwa, tehnik pustaka adalah teknik yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Teknik catat berarti peneliti sebagai instrumen kunci melakukan pencatatan terhadap data yang diperoleh. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka, dan catat.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut.
a.    Pembacaan secara intensif terhadap sumber data yang mengacu pada objek penelitian yaitu membaca novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan.
b.    Melakukan pencatatan pada data yang diperoleh dari buku-buku referensi dan penelitian-penelitian sebelumnya sesuai dengan data penelitian.
5.      Keabsahan Data
       Sutopo (2002: 92) berpendapat bahwa, keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dengan berbagai teknik yang benar-benar sesuai dan tepat untuk menggali data yang benar-benar diperlukan bagi penelitian. keabsahan atau validitas data penelitian menggunanakan teknik trianggulasi, artinya untuk menarik kesimpulan yang terbaik, diperlukan tidak hanya satu sudut pandang. Misalnya dalam memandang suatu benda, bilamana hanya menggunakan satu perspektif, maka hanya akan melihat satu bentuk. Jika benda tersebut dilihat dari beberapa perspektif yang berbeda maka dari setiap hasil pandangan akan menemukan bentuk yang berbeda dengan bentuk yang dihasilkan dari   pandangan lain.
       Ketepatan data tersebut tidak hanya bergantung pada ketepatan memiliki sumber data dan teknik pengumpulannnya, tetapi juga diperlukan teknik pengembangan validasi datanya. Data yang berhasil digali, dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan penelitian. Jenis teknik trianggulasi yang digunakan dalam penelitian ini dengan objek novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan adalah trianggualasi teoristis.
       Patton (dalam Sutopo, 2002: 98) menjelaskan bahwa, triangulasi teoristis dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji, dan hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah rumusan informasi atau thesis statement.  Informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang televan untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan atau kesimpulan yang dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman, asalkan peneliti mampu  menggali pengetahuan teoretik secara mendalam atas hasil analisis data yang telah diperoleh, sehingga diharapkan dapat memperoleh hasil dan kesimpulan yang terbaik. 
       Dalam pengertian lain triangulasi menjadi sangat penting dalam penelitian kualitatif, meskipun menambah waktu, biaya serta tenaga. Harus diakui bahwa triangulasi dapat meningkatkan kedalaman pemahaman peneliti baik mengenai fenomena yang diteliti maupun konteks di mana fenomena itu muncul. Pemahaman yang mendalam atas masalah yang diteliti merupakan hal yang sangatlah urgen untuk diperhatikan atau dijunjung tinggi oleh setiap peneliti kualitatif. Sebab, penelitian kualitatif lahir untuk menangkap arti yang sebenarnya atau memahami gejala, peristiwa, fakta, kejadian, realitas atau masalah tertentu mengenai peristiwa sosial dan kemanusiaan dengan kompleksitasnya secara mendalam, dan bukan untuk menjelaskan hubungan antar-variabel atau membuktikan hubungan sebab akibat atau korelasi dari suatu masalah tertentu.
       Kedalaman pemahaman akan diperoleh hanya jika data cukup kaya, dan berbagai perspektif digunakan untuk memotret sesuatu fokus masalah secara komprehensif. Karena itu, memahami dan menjelaskan jelas merupakan dua wilayah yang tidaklah sama. Jadi tringulasi berarti cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan. Dengan kata lain bahwa dengan tringulasi, peneliti dapat menyimpulkan temuan dengan tujuan  membandingkannya dengan berbagai sumber, metode, atau teori.
6.      Teknik Analisis Data
Menurut Patton (dalam Moeleong, 2011: 103) menyatakan bahwa, teknik analisis data adalah proses mengatur urutan data dan menggolongkannya kedalam suatu pola, karakter, dan satuan uraian dasar. Kegiatan analisis data itu dilakukan dalam sastu proses. Proses berarti pelaksanaannya sudah dimulai sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif. Maksud pernyataan di atas menurut peneliti yakni sebuah sistem yang berperan penting dalam penelitian, yang bertujuan untuk membentuk konsep dan menghasilkan penelitian yang lebih baik.
Goldmann (dalam Faruk, 2007: 20) menyatakan bahwa, sudut pandang dialektik tidak pernah ada titik awal yang secara mutlak sahih, tidak ada penolakan yang secara final pasti terpecahkan. Oleh karenanya, dalam sudut pandang tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta memiliki arti jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan dapat dipahami dengan pengetahuan yang utuh. Keseluruhan gagasan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan bagian juga tidak dapat dimengerti tanpa keseluruhan. Proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak yang melingkar terus-menerus, tanpa diketahui titik pangkal ujungnya.
       Goldmann (dalam Faruk, 2007: 20) berpendapat bahwa, kerangka berpikir secara dialektik mengembangkan dua unsur, yaitu bagian keseluruhan dan bagian penjelasan. Setiap fakta atau gagasan yang ada, ditempatkan pada keseluruhan atau kesatuan makna akan dapat dipahami dengan fakta atau gagasan yang membangun keseluruhan makna tersebut. Maksud pendapat tersebut menurut peneliti yakni, kerangka pemikiran secara dialektik bekerja secara spesifik yakni dengan mengembangkan unsur keseluruhan dan pada bagian penjelasan, dengan cara ini berfungsi agar peneliti dapat menemukan makna yang dijelaskan pada fakta-fakta atau gagasan dalam novel tersebut.
       Metode analisis data secara dialektik yang diungkapkan oleh Golmann (dalam Faruk, 2007: 20) adalah penggabungan unsur-unsur intrinsik menjadi keseluruhan atau kesatuan makna yang akan dicapai dengan beberapa langkah, yaitu menganalisis dan megidentifikasi unsur-unsur intrinsik dalam novel. Teknik analisis data yang digunakan untuk menganalisis novel Penari Kecil Karya Sari Safitri Mohan yakni metode dialektik yang dilakukan dengan menghubungkan unsur-unsur yang ada dalam novel Penari Kecil dengan fakta-fakta yang diintegrasikan ke dalam satu kesatuan makna.
        Langkah-langkah peneliti menganalisis nilai-nilai moral dengan teori sosiologi sastra adalah sebagai berikut.
a.    Menganalisis novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan dengan menggunakan analisis struktural. Analisis struktural dilakukan dengan membaca dan memahami kembali data yang sudah diperoleh. Selanjutnya, mengelompokkan teks-teks yang terdapat dalam novel Penari Kecil yang mengandung tema, tokoh, alur, dan latar. Hasil analisis data dapat berupa kesimpulan tema, alur, tokoh, dan latar dalam novel Penari Kecil.
b.    Analisis sosiologi sastra dilakukan dengan cara membaca, memahami kembali data yang diperoleh, selanjutnya mengelompokkan teks-teks yang terdapat dalam novel Penari Kecil sesuai dengan nilai moral menurut Suseno (1987: 142-150) yang terdapat dalam novel tersebut.
       Kaitan nilai-nilai moral dengan sosiologi sastra pada novel Penari Kecil karya Sari Safitri Mohan yakni, seperti yang sudah dijelaskan di atas, nilai-nilai moral adalah nilai yang mendefinisikan baik buruknya akhlak ataupun perbuatan manusia. Sedangkan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat, dan sosiologi sastra berarti, ilmu yang mempelajari latar belakang terciptanya sebuah karya sastra. Dapat disimpulkan bahwa kaitan antara nilai moral dan sosiologi sastra adalah nilai moral tersebut ada di sekitar kehidupan manusia, baik itu manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhannya, sedangkan terciptanya sebuah karya sastra itu sendiri merupakan gambaran atau latar belakang peristiwa-peristiwa dalam sebuah kehidupan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar