ANALISIS PUISI AKU DAN JIWAKU

ANALISIS PUISI AKU DAN JIWAKU 
KARYA NI MADE PURNAMA SARI  TINJAUAN SEMIOTIK


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
       Nurgiyantoro (1995: 26-27) menyatakan bahwa, sebuah bentuk sastra disebut puisi jika di dalamnya terdapat pendayagunaan berbagai unsur bahasa untuj mencapai efek keindahan. Bahasa puisi tentulah singkat, padat dengan sedikit kata, tetapi dapat mendialogkan sesuatu yang lebih banyak. Pendayagunaan unsur bahasa untuk memperoleh keindahan itu antara lain, dapat dicapai lewat permainan bunyi, yang biasanya berupa berbagai bentuk perulangan untuk memperoleh efek persajakan dan irama yang melodis. Maksud pendapat tesebut menurut peneliti yaitu penyampaian puisi biasanya berisi kata dan kalimat yang jelas dan sederhana, hal ini dimaksudkan agar pembaca sanggup memahami makna puisi tersebut. melalui puisi seseorang juga bisa menyuarakan apa yang ingin di katakan meskipun tidak secara langsung. Puisi juga dapat disajikan melalui iringan sebuah bunyi dengan tujuan dapat menimbulkan efek penjiwaan yang mendalam bagi penikmat puisi itu sendiri.
       Preminger (dalam Pradopo20031974-980) menyatakan bahwa, nama lain semiotik adalah semiologi dari bahasa Yunani semeion yang bermakna tanda. Semiotik atau semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan, atau konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna.
Teew (1984: 6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.

 




BAB II
LANDASAN TEORI
B.       Kajian Teori
Menurut Pradopo studi sastra bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna-makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur karya sastra atau hubungan-dalam (internal relation) antar unsurnya akan dihasilkan bermacam-macam makna. Oleh karena memberi makna karya itu dengan jalan mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sastra.
Pradopo (dalam Sumampouw, 2010: 56) menjelaskan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda. Ilmu ini menganggap fenomena sosial dan kebudayaan sebagai tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda mempunyai arti. Ada dua hal yang berhubungan dengan tanda, yakni yang menandai atau penanda yang ditandai atau penanda. Hubungan antara tanda dengan acuannya dapat dibedakan menjadi tiga macam yakni.
1.    Ikon
       Ada kemiripannya antara acuannya dengan tanda. Tanda tersebut memang mirip dengan acuannya atau merupakan gambar atau arti langsung dari petanda. Misalnya, foto merupakan gambaran langsung dari yang difoto. Ikon masih dapat dibedakan atas dua macam, yakni ikon tipologis, kemiripan yang tampak disini adalah kemiripan rasional. Jadi, di dalam tanda tampak juga hubungan antara unsur-unsur yang diacu, contohnya susunan kata dalam kalimat, dan ikon metaforis, ikon jenis ini tidak ada kemiripan antara tanda dengan acuannya, yang mirip bukanlah tanda dengan acuan melainkan antara dua acuan dengan tanda yang sama, kata kancil misalnya, mempunyai acuan ‘binatang kancil’ dan sekaligus ‘kecerdikan’.
2.    Indeks
Istilah indeks berarti bahwa antara tanda dan acuanya ada kedekatan ekstensial. Penanda merupakan akibat dari petanda (hubungan sebab akibat). Misalnya, mendung merupakan tanda bahwa hari akan hujan; asap menandakan adanya api. Dalam karya sastra, gambaran suasana muram biasanya merupakan indeks bahwa tokoh sedang bersusah hati.
3.    Simbol
Penanda tidak merupakn sebab atu akibat dan tidak merupakan gambaran langsung dari petanda, tetapi hubungan antara tanda dan acuannya yang telah terbentuk secara konvensional. 
       Ruang Lingkup Kajian Semiotik
Untuk melakukan kajian semiotik terhadap puisi, dapat dilakukan dengan pemaknaan sebagai berikut:
1.    Puisi dikaji ke dalam unsur-unsurnya dengan memperhatikan saling hubungan antar unsur-unsurnya dengan keseluruhan.
2.    Tiap unsur puisi dan keseluruhannya diberi makna sesuai dengan konvensi puisi.
3.    Setelah puisi dikaji ke dalam unsur-unsurnya dan dilakukan pemaknaan, puisi dikembalikan kepada makna totalitasnya dengan kerangka semiotik.
4.    Untuk pemaknaan diperlukan pembacaan secara semiotik, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik.
Pradopo (2003: 96) menyatakan bahwa, pembacaan heuristik adalah pembacaan karya sastra (puisi) berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra (puisi) berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan ulang sesudah pembacaan heuristik dengan tafsiran berdasarkan konvensi sastra.


BAB III
PEMBAHASAN
C.      Pembacaan Heuristik  Puisi Aku dan Jiwaku Karya Ni Made Purnama sari
Aku dan jiwaku
berbaring berdampingan
Kami telanjang
Bagai dua kanak remaja
Kami saling menatap
seolah lama tak jumpa

Ia tampak lebih tua
waktu berlalu lekas baginya
sedangkan aku serupa dulu
waktu telah lama berhenti
sebab ia bukan milikku lagi

Ke mana kau akan pergi
bila akhirnya kita mati?

Jiwaku tersenyum diam-diam
Balik tanya hal sama padaku

Aku mau pergi ke bulan
dipuja penyair dan kekasih malam kasmaran
Atau datang ke lain dunia
jadi tukang pos kesepian
tak jemu mengirim surat untukmu

Aku dan jiwaku
berbaring berdampingan
menanti pagi datang

Di luar maut menunggu
menyamar hujan semalaman
menyemai mawar-mawar duri di taman-taman
       Pembacaan heuristik puisi dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Untuk memperjelas arti pada puisi, bila perlu dapat diberi sisipan kata atau sinonim kata yang ada pada puisi tersebut dengan cara kata-kata yang disisipkan ditaruh dalam tanda kurung. Begitu pula dengan struktur kalimatnya, disesuaikan dengan kalimat baku, dan bila perlu susunannya dapat dibalik untuk memperjelas arti. Pembacaan heuristik terhadap puisi Aku dan Jiwaku  karya Ni Made Purnama Sari dapat dilakukan secara berikut.
Bait Pertama
(di sini) aku dan jiwaku
Berbaring (saling) berdampingan
Kami (sama-sama) telanjang
Bagai dua kanak remaja (yang selalu bersama)
Kami (berdua) saling menatap (mata)
seolah lama tak (saling) jumpa
Bait Kedua
Ia tampak (begitu) lebih tua (dariku)
waktu (terasa) berlalu lekas baginya
sedangkan aku (hanya) serupa dulu
(kini) waktu telah lama berhenti
sebab ia (suatu saat) bukan milikku lagi
Bait Ketiga
(kelak) Ke mana kau akan pergi
bila akhirnya (nanti) kita ( telah) mati?



Bait Keempat
Jiwaku (hanya) tersenyum diam-diam
(ketika dia) Balik tanya hal (yang) sama padaku
Bait Kelima
Aku (menjawab) mau pergi ke bulan
dipuja (oleh) penyair dan kekasih malam kasmaran
Atau (aku) datang ke lain dunia
jadi tukang pos kesepian (manusia)
(juga) tak jemu mengirim surat untukmu
Bait Keenam
(ketika) Aku dan jiwaku
berbaring (masih) berdampingan
(untuk) menanti pagi datang
Bait Ketujuh
(ketika) Di luar maut menunggu
menyamar (bersama) hujan semalaman
(dan) menyemai mawar-mawar duri di taman-taman
D.      Pembacaan Hermeneutik Puisi Aku dan Jiwaku Karya Ni Made Purnama sari
       Dalam pembacaan hermeneutik puisi dibaca berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan ulang sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan tafsiran berdasarkan konvensi sastra. Konvensi sastra itu, di antaranya yaitu konvensi ketaklangsungan ucapan (ekspresi) puisi. Ketidaklangsungan ekpresi puisi dapat disebabkan oleh penggantian arti, penyimpanan arti, dan penciptaan arti . Penggantian arti dapat disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi. Penyimpangan arti dapat disebabkan oleh ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Penciptaan arti dapat disebabkan oleh pemanfaatan bentuk visual seperti enjambemen, persajakan, homologues (persejajaran bentuk maupun baris, dan tipografi) (Pradopo, 2003:97).
       Pembacaan hermeneutik terhadap Puisi Aku dan Jiwaku Karya Ni Made Purnama sari, terutama dilakukan terhadap bahasa kiasan. Pembacaan (tafsirannya) adalah sebagai berikut.
Bait Pertama
       Digambarkan seseorang yang bagaikan kedua anak kecil sedang berbaring bersama, berbicara dengan jiwanya, yang seolah-olah mereka sudah lama tak pernah saling bertemu.
Bait Kedua
       Orang tersebut melihat jiwanya sudah lebih tua dari pada dirinya, sedangkan ia masih belum bisa menerima kenyataan itu, dia masih ingin selalu muda, dan dia belum ingin untuk menjemput ajalnya.
Bait Ketiga
       Dalam renungannya, dia bertanya-tanya kemana jiwa ini akan pergi, ketika nanti aku sudah mati?
Bait Keempat
       Orang tersebut termenung, dia merasa bimbang, kemana kelak dia nanti ketika sudah mati.
Bait Kelima
       Dalam kebingungannya, dia menjawab pertanyaannya sendiri bahwa ia akan pergi ke bulan yang dipuja penyair dan manusia yang sedang kasmaran.
Bait Keenam
        Ketika pagi telah datang dan diapun masih diberikan kesempatan untuk hidup.
Bait Ketujuh
       Meskipun sebenarnya dia tidak pernah tahu kapan dan dimana saja, ajal akan menjemputnya.





E.       Pemaknaan Puisi Aku dan Jiwaku Karya Ni Made Purnama sari.
       Berdasarkan hasil pembacaan heuristik dan hermeneutik di atas, dapat diketahui bagaimana makna puisi Puisi Aku dan Jiwaku Karya Ni Made Purnama sari, terutama pada bahasa kiasan. Pemaknaannya dapat dilakukan sebagai berikut.
Bait Pertama
Aku dan Jiwaku” mempunyai makna yang terlihat seperti berdiri sendiri, dan tidak menyatu dan saling terpisah. “berbaring berdampingan” seolah-olah bermakna jiwa tersebut terpisah dan selalu bersama dengannya. “kami telanjang” ungkapan yang mengartikan mereka berdua saling tahu satu sama lain. “bagai dua kanak remaja” ungkapan tersebut menjelaskan bagaimana mereka kepolosan dan saling keterbukaan dia. “kami saling menatap” mengungkapkan seperti jiwa tersebut sudah tidak bersatu lagi dengan raganya, dan kini mulai menatapnya. “seolah lama tak berjumpa” ungkapan tersebut menjelaskan makna dia merasa jiwanya telah siap untuk pergi meninggalkan raganya, hingga jiwa tersebut sanggup untuk menatapnya.
Bait Kedua
Ia tampak lebih tua” seseorang tersebut menggambarkan secara fisiologis keadaan jiwanya bahwa, jiwa yang ada dalam raganya sudah lebih tua dari pada dia. “waktu berlalu lekas baginya” waktu terasa begitu cepat dirasakannya. “sedangkan aku serupa dulu” orang tersebut menjelaskan bahwa dia masih merasa masih muda dan tidak setua seperti jiwanya. “waktu telah lama berhenti” raga dan jiwanya sudah lama bersama. “sebab ia bukan milikku lagi” kini tiba waktunya jiwa yang bersamanya bukan miliknya lagi.
Bait Ketiga
Ke mana kau akan pergi” kalimat tersebut bermakna kegelisahan orang tersebut, ketika dia merasa jiwanya sudah waktunya untuk berpisah dengan raganya. “bila akhirnya kita mati” orang tersebut termenung dalam benaknya, yang telah pasrah akan datang ajalnya suatu hari nanti.


Bait Keempat
Jiwaku tersenyum diam-diam” dalam renungannya orang tersebut merasa jiwanya hanya menjawab pertanyaannya dengan senyuman. “Balik tanya hal sama kepadaku” dia merasa, jika dia juga mendapat pertannyaan yang sama, akan ke mana jika nanti dia telah mati.
Bait Kelima
Aku mau pergi ke bulan” kalimat ini menyatakan makna bahwa dia tidak tahu tujuan ketika dia nanti telah mati. “dipuja penyair dan kekasih malam kasmaran” dia hanya ingin dikenang oleh orang lain. “atau datang ke lain dunia” dia berharap akan ada dunia lain yang bisa dia datangi.
Bait Keenam
“Aku dan jiwaku” mempunyai makna yang terlihat seperti berdiri sendiri, dan tidak menyatu. “berbaring berdampingan” seolah-olah bermakna jiwa tersebut terpisah tetapi selalu bersama dengannya. “menanti pagi datang” kalimat ini mempunyai makna bahwa, menanti pagi datang yang esok hari tidak ada yang tahu akan seperti apa, dan hanya bisa berharap jiwanya masih akan selalu bersama dengan dirinya.
Bait Ketujuh
Di luar maut menunggu” kalimat ini mempunyai makna jika dia merasakan bahwa datangnya maut bisa kapan dan di mana saja. “meyamar hujan semalaman” makna kalimat ini adalah maut bisa kapan saja terjadi, maut memang selalu ada mendampingi hidup manusia. “menyemai mawar-mawar duri di taman-taman” makna kalimat ini yakni, tidak ada satu orangpun yang bisa melihat dengan kasat mata, di mana dan kapan maut itu ada, kedatangan maut pasti tidak akan pernah disadari manusia sebelumnya.






BAB IV
PENUTUP
F.       Kesimpulan
       Berdasarkan hasil apresiasi di atas, setelah kita menganalisis makna tiap bait, kita pun harus sampai pada makna lambang yang diemban oleh puisi tersebut. Tokoh aku dan jiwaku dalam puisi tersebut menjelaskan seolah-olah mereka adalah dua zat yang terpisah, meskipun dalam kenyataannya adalah satu kesatuan, dan penulis mampu menampilkannya dengan baik dalam setiap baitnya. Pada puisi tersebut, terdapat pesan tersirat bagi pembaca. Pesan puisi tersebut menyadarkan manusia bagaimana dia harus senantiasa senantiasa tawakhal, dan siap lahir batin ketika ajal menjemput kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar